Selasa, 13 Maret 2012

Tugas Membuat Artikel


Problematika & Keuntungan Menulis
Menanggapi Surat edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 yang mewajibkan mahasiswa menulis dan mempublikasikan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan. Menurut saya kebijakan ini sangat bagus untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang berkualitas pula. Namun kebijakan ini menambah beban bagi mahasiswa. Karena tidak semua mahasiswa atau calon sarjana muda terampil dan mampu menulis. Budaya baca di kalangan mahasiswa masih rendah, karenanya budaya tulisnya pun masih rendah. Membaca sangat penting untuk membangun budaya menulis. Untuk mampu menulis pasti diperlukan banyak membaca.
Menurut Suyatno Sekertaris Jendral (Sekjen) Aptisi, aturan mewajibkan menulis karya ilmiah di jurnal ilmiah sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana, bisa berujung pada penyusunan jurnal asal-asalan. Dia menekankan jika Kemendikbud perlu mengkaji ulang kebijakan ini. Minimal sampai ada perbaikan sistem dan dukungan peralatan penunjang keberadaan karya ilmiah mahasiswa. Selain alasan belum siapnya jumlah jurnal ilmiah, Suyatno juga mengatakan aturan ini bisa menghambat kelulusan sarjana baru. Sebab, selama ini kelulusan program sarjana cukup dengan memenuhi jumlah SKS (satuan kredit semester) dan pembuatan skripsi.
Menulis skripsi sebagai syarat kelulusan pun, mahasiswa merasa terbebani. Apalagi kalau ditambah dengan membuat karya ilmiah, beban mereka bertambah lagi. Belum lagi mahasiswa harus menambah pengeluaran untuk biaya penelitian. Dalam menulis skripsi mahasiswa butuh perjuangan, mereka bekerja keras agar dapat menulis dengan baik. Selain itu juga mereka butuh wawasan yang luas, pengetahuan yang memadai, sehingga mereka mampu mengembangkan gagasan-gagasan yang ada di pikirannya terkait dengan topik yang mereka bahas. Kiranya cukup sebagai syarat kelulusan itu menulis skripsi saja. Dengan menulis skripsi pun mahasiswa dapat membuktikan bahwa ia mampu dan terampil menulis.
Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa. Keterampilan menulis sangat berbeda dengan keterampilan berbahasa yang lainnya. Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang tidak sederhana (Syamsudin, 1994:1). Menulis memiliki tingat kesulitan yang tinggi. Karena sulit, menulis menjadi beban yang berat bagi mahasiswa. Kegiatan menulis banyak meminta waktu, tenaga, serta perhatian yang sungguh-sungguh. Menulis makalah yang menjadi tugas mahasiswa yang diberikan dosen setiap mata kuliah yang ditempuh , kadang menjadi beban. Saya pribadi pun begitu. Ketika ada tugas menulis makalah, saya terpaksa mencari informasi mengenai topik yang akan dibahas, membaca buku, berpikir, bernalar, dan masih sulit mengungkapkan gagasan-gagasan yang ada di pikiran. Pemilihan diksi dan kalimat secara efektif, serta menguraikan kalimat-kalimat tersebut menjadi suatu paragraf  pun masih sulit. Dan saya pun cenderung cofy paste dari tulisan orang lain yang ada di buku ataupun internet. Hal tersebut membuktikan bahwasanya kemampuan dan keterampilan menulis saya masih minim, karena kurangnya berlatih. Mungkin hal yang dialami saya itu, dialami juga oleh mahasiswa yang lainnya. Sebenarnya menulis makalah dapat dijadikan latihan menulis dalam upaya meningkatkan kemampuan dan keterampilan menulis kita. Dengan berlatih dan terus berlatih dengan sungguh-sungguh, kita pun akan terampil dan mampu menulis dengan baik. Masih kurangnya kesadaran mahasiswa, bahwa pentingnya memiliki kemampuan dan keterampilan menulis.
Menurut Sabarti Akhadiah banyak keuntungan dan kegunaan yang dapat dipetik dari pelaksanaan kegiatan menulis, yaitu:
·          Dengan menulis kita dapat lebih mengenali kemampuan dan potensi diri kita.
·         Melalui kegiatan menulis kita dapat mengembangkan berbagai gagasan.
Kegiatan menulis memaksa kita lebih banyak menyerap, mencari, serta menguasai informasi sehubungan dengan topik yang kita tulis.
·         Menulis berarti mengorganisasikan gagasan secara sistematik serta mengungkapkannya secara tersurat.
·         Melalui tulisan kita akan dapat meninjau serta menilai gagasan kita sendiri secara lebih objektif.
·         Menuliskan di atas kertas kita akan lebih mudah memecahkan permasalahan, yaitu dengan menganalisisnya secara tersurat, dalam konteks yang lebih konkret.
·         Tugas menulis mengenai suatu topik mendorong kita belajar aktif.
·         Kegiatan menulis yang terencana akan membiasakan kita berpikir serta berbahasa secara tertib.
              Keuntungan tersebut dapat kita petik jika kita mampu dan terampil menulis. Selain keuntungan tersebut, menulis juga dapat menghasilkan uang. Bagi orang yang sudah mampu dan terampil menulis, menulis dapat menjadi sumber penghasilan . Misalnya dengan menulis novel, cerpen, puisi, artikel, buku, karangan ilmiah, dan lain-lain. Bukankah karya-karya tersebut dapat menghasilkan uang jika terjual ? . Dan kita akan bangga jika karya-karya tersebut dipublikasikan dan dibaca oleh orang lain, dan secara tidak langsung kita berbagi ilmu kepada orang lain. Sungguh banyak keuntungan dari menulis. Di sini perlunya kita berlatih dan terus berlatih menulis, serta meningkatkan kualitas keterampilan dan kemampuan menulis kita. Keterampilan yang terus dilatih dan diasah, tentu kualitasnya akan menjadi lebih baik.


Sumber Artikel
Akhadiah, Sabarti, dkk. 2003. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
BANTEN POS » 3.150 PTS Boikot ‘Karya Ilmiah’.htm
Okezone.com

Selasa, 06 Maret 2012

Tugas merangkum mata kuliah pembelajaran menulis

PENGAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAM
ACHIEVMENT DIVISION (STAND)
BAGI PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS
Sutarman
Pendahuluan
Model pembelajaran akan bersangkutan langsung dengan konsep pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Ketiga konsep tersebut perlu dikuadai guru dengan terampil. Kedudukan dan fungsi guru dalma kegiatan belajar mengajar saat ini masih sangat domainan. Salah satu kelemahan yang nyata di lapangan adalah kurangnya variatifnya guru dalam menyajikan materi pelajaran karena terdorong untuk mengejar pencapaian target yang telah ditentukan. Hinduan (1999:1), menyatakan bahwa PBM yang banyak terjadi di sekolah-sekolah tetaplah merupakan pola tradisional, yaitu guru menerangkan, siswa mendengarkan dan mencatat, lalu latihan soal. Kurikulum terbaru tahun 2006 (KTSP) memberi peluang yang seluas-luasnya kepada  guru untuk berkreasi ketika PBM berlangsung.
Sebagai acuan proses pembelajaran bahasa Indonesia yang secara ideal harus mencetak lulusan yang terampil berbahasa, orientasi akhir dari proses pembelajaran bahasa (Kurikulum 2006) mengarah pada penguasaan empat keterampilan berbhasa yaitu, mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dari keempat keterampilan berbahasa tersebut, menurut Alwasilah (2003), keterampilan menulisalah yang sampai saat ini perkembangannya masih rendah.
Keterampilan menulis memang memiliki tingkat kompleksitas yang cukup tinggi. Kegiatan menulis baru dapat terlaksana setelah manusia “belajar” dahulu mengenai bahasa tertulis karena keterampilan ini berbeda dengan keterampilan menyimak dan berbicara yang dimiliki manusia normal sejak lahir. Dengan kata lain, menulis merupakan keterampilan berbahasa yang tidak sederhana.
Salah satu metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan proses pembelajaran menulis adalah model mengajar kooperatif  Tipe Student Team Achievment Division (STAD). Model ini merupakan cabang dari model pembelajaran kooperatif (cooperative learning), yang berusaha memberdayakan interaksi antar siswa dalam dinamika kelompok. Model tersebut menekankan kegiatan berlatih dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok heterogen (Slavin, 1995:3). Terdapat dua langkah yang harus disiapkan untuk terwujudnya belajar kooperati. Pertama, perlu adanya motivasi peserta belajar (student motivation). Kedua, pelaksanaan proses belajar (learning process) yang berincikan kooperatif (Killen, 1998:89).


Model Mengajar
Joyce & Weil (2000:1) yang mengungkapkan bahwa model mengajar ialah suatu rencana atau pola yang digunakan dalam melaksanakan kurikulum, menyusun materi pengajaran, dan memberi pengajaran, dan memberi arah pembelajaran di kelas atau pun lainnya.  Mereka mengelompokkan model mengajar menjadi 4 rumpun, yaitu:
·         Information-Processing Models (Model pemrosesan Informasi)
Yaitu model mengajar yang menjelaskan bagaimana cara individu memberi respons yang datang dari lingkungannya, dengan cara mengorganisasikan data, memformulasikan masalah, membangun konsep, dan rencana pemecahan masalah, serta penggunaan simbol-simbol verbal dan nonverbal.
·         Personal Models (Model Pribadi)
Berorientasi kepada perkembangan diri individu.
·         Social Interaction Models (Model Interaksi Sosial)
Mengutamakan hubungan individu dengan masyarakat atau orang alian, dan memusatkan perhatiannya kepada proses realita yang ada dan dipandang sebagai negoisasi sosial.
·         Behavioral Models (Model Prilaku)
Dibangun atas dasar teori yang umum, yaitu  kerangka teori perilaku.
Psikologi Belajar Bahasa
Perkembangan ilmu psikologi berpengaruh pada perkembangan “metode” pembelajaran bahasa. Sedikitnya ada dua teori psikologi belajar yang meramaikan pencarian “metode terbaik” dalam pengajaran bahasa yaitu teori behavioristik dan teori kognitif.
1.      Teori Behavioristik
Prinsip teori behavioristik relatif sederhana, yakni suatu pandangan mengenai perilaku belajar yang kuncinya adalah peniruan model. Titik sentral kegiatannya terletak pada proses penyempurnaan latihan untuk membentuk kebiasaan.
2.      Teori Kognitif teori kognitif dipelopori oleh Jean Piaget. Teori ini menegaskan bahwa setiap anak memiliki peranan yang aktif dalam belajar. Teori kognitif menjadi relasi linguistik dan basis nasional pengajaran bahasa dimulai oleh Noam Chomsky pada tahun 1960-an. Perkembangan metode pembelajaran bahasa yang berbasis teori kognitif dilukiskan oleh Abdul Hamied (19877:130-131) sebagai teori mengajar bahasa yang baru, metode kognitif belum diamati secara kritis. Pada awal tahun delapan puluhan kontribusinya telah dibayang-bayangi oleh pergeseran minat pada pendekatan komunikatif.
Landasan Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang didasarkan pada paham konstruktivisme. Teori konstruktivisme mengajurkan peranan yang lebih aktif bagi siswa dalam pembelajaran. Karena penekanannya pada siswa, strategi konstruktivisme sering disebut  pengajaran yang terpusat pada siswa atau student-centered instruction. Ide utama teori ini adalah siswa secara aktif membangun pengetahuannya sendiri, otak siswa dianggap sebagai mediator yang memproses masukan dari lingkungnanya dan menentukan apa yang akan dipelajari. Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran lebih menekankan pada pengajaran top-down daripada bottom-up.
1.      Teori Belajar Piaget
Dalam teorinya Pieget memandang proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak (Soemanto, 1998:130). Pieget (dalam Suparno, 1997:30) menyatakan bahwa pengetahuan pada dasarnya merupakan adaptasi pikiran ke dalam lingkungannya, sehingga struktur intelektual di dalam individu terjadi akibat interaksinya dengan lingkungan. Pieget memandang perkembangan intelektual atau kemampuan kognitif terjadi melalui empat tahap yang berbeda, yaitu (1) Skema (struktur kognitif), (2) Asimilasi, (3) Akomodasi, (4) Ekuilibrasi. Pengaplikasian di dalam belajar perkembangan kognitif bergantung pada akomodasi.
2.      Teori Belajar Vygotsky
Teori Vygotsky didasarkan pada dua ide utama: (1) perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya penglaman siswa, (2) perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat (sign system), dengan sistem-sistem isyarat itulah individu-individu tumbuh (Nur, 1998:31).
Teori Vygotsky dalam pembelajaran, yaitu penerapan pola pikir bahwa perkembangan kognitif sangat erat kaitannya dengan masukan dari orang lain dan selanjutnya siswa bertanggung jawab untuk mempelajarinya sendiri. 
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu dari bidang-bidang dalam teori, riset dan latihan dalam pendidikan. Pembelajaran kooperatif hadir ketika siswa bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tujuan belajar bersama (Johnson & ajaohnson, 19991:1)
Slavin  (1995:3) berpendapat pembelajaran kooperatif lebih menekankan pada belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok heterogen.
Slavin (1995:17) menguraikan beberapa nilai positif dalam pembelajaran kooperatif, antara lain:
·         Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menunjang tinggi norma kelompok,
·         Siswa aktif membantu dan mendorong semangat untuk bersama-sama berhasil
·         Siswa aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok, dan
·         Interaksi sesama siswa seiring dengna peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat
Selanjutnya Slavin (1995:19) menguraikan kelemahan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu adanya kelompok yang tidak aktif. Hal ini dapat diatasi dengan cara sebagai berikut: (1) masing-msing anggota kelompok bertanggung jawab pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan kelompok, dan (2) masing-masing anggota kelompok harus mempelajari materi secara keseluruhan, karena hasil kelompok ditentukan oleh skor perkembangan tiap individu.
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Team Achievement Division)
Pembelajaran kooperatif terdiri atas beberapa tipe, antara lain:
·         Student Team AchiievementDivision (STAD),
·         Teams-Games-Tournaments (TGT),
·         Team Assisted Individualization (TAI),
·         Cooperative  Integrated Reading and Composition (CIRC),
·         Jigwas,
·         Learning Together, dan
·         Group Investigation
Student Team Achievement Division (STAD), siswa ditempatkan pada kelompok belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat kinerja, jenis kelamin dan suku. Pada proses pembelajarannnya melalui lima tahap, yang meliputi:
·         Tahap penyajian materi
·         Tahap kegiatan kelompok
·         Tahap tes individual
·         Tahap perhitungan skor perkembangan individu
·         Tahap pemberian penghargaan kelompok
Evaluasi Pembelajaran Kooperatif
Evaluasi pembelajaran kooperatif berpijak pada pemikiran dasar bahwa kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat [enting artinya bagi kelangsungan hidup.  Model ini belum banyak diterapkan dalam dunia pendidikan kita, walaupun kita sering membanggakan nilai gotong royong dalam budaya bangsa Indonesia. Kebanyakan guru  enggan menerapkan sistem kerja kelompok karena beberapa alasan. Salah satunya adalah penilaian yang dianggap kurang adil. Sebenarnya ketidakadilan tersebut tidak perlu terjadi dalam kerja kelompok, jika guru benar-benar menerapkan prosedur sistem pengajaran/ penilaian cooperative learning. Dalam penilaian cooperative learning, siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok (Lie, 2008:87). Metode pembelajaran dan penilaian cooperative learning perlu lebih sering dipakai dalam dunia pendidikan. Agar bisa kondusif bagi proses pendewasaan dan pengembangan siswa, sistem belajar perlu memperhatikan pula aspek-aspek afltetif, sedangkan sistem individu mulai memperhatikan aspek efektif untuk mencapai hasil-hasil kognitif. Sistem pendidikan gotong-royong merupakan alternatif menarik yang bisa mencegah tumbuhnya keagresifan dalam sistem kompetensi dan keterasingan dalam sistem individu tanpa mengorbankan aspek kognitif.